DUMAI – Pengadaan bandwidth senilai Rp1,05 miliar untuk RSUD dr. Suhatman MARS Kota Dumai mendapat sorotan tajam dari berbagai pihak. Meski pihak rumah sakit mengklaim proses ini telah sesuai dengan Peraturan Presiden (Perpres) dan menggunakan sistem e-Katalog, dugaan kolusi dan penyalahgunaan anggaran mencuat ke permukaan.

Proyek pengadaan ini melibatkan dua penyedia, yakni Link Kita untuk jalur utama sebesar 200 Mbps dan Mayatama untuk cadangan sebesar 50 Mbps. Namun, sejumlah pihak mempertanyakan keterbatasan jumlah penyedia yang dilibatkan, mengingat e-Katalog seharusnya membuka peluang yang lebih luas bagi penyedia lain.

“Proses seleksi tampak tidak transparan. E-Katalog seharusnya memungkinkan kompetisi yang sehat, tetapi yang terlihat justru seperti formalitas belaka,” ujar seorang narasumber yang enggan disebutkan namanya. Kejanggalan ini memunculkan dugaan adanya praktik kolusi yang menguntungkan pihak tertentu.

Selain itu, perbandingan dengan pengadaan serupa di rumah sakit lain menambah kecurigaan terhadap proyek ini. RSUD Cilacap, misalnya, dengan kebutuhan bandwidth hingga 800 Mbps, memiliki anggaran pengadaan yang hampir sama. “Anggaran sebesar ini untuk kebutuhan bandwidth yang lebih kecil jelas tidak wajar,” ungkap seorang pengamat kebijakan publik.

Pihak RSUD Dumai mengklaim harga yang diperoleh lebih murah dari harga pasar. Namun tanpa adanya audit independen, klaim ini sulit dibuktikan. Ketiadaan transparansi dalam penetapan harga juga memunculkan dugaan adanya mark-up anggaran yang dapat merugikan negara.

Masalah lain muncul dari proses pengadaan yang seharusnya terbuka untuk dipantau publik. Negosiasi dan seleksi penyedia tidak dijelaskan secara rinci, sehingga menimbulkan pertanyaan mengenai akuntabilitas pihak-pihak yang terlibat. “Proses ini seharusnya bisa diawasi oleh publik. Namun, kenyataannya, informasi tersebut tidak tersedia,” ujar seorang aktivis anti-korupsi.

Menanggapi hal ini, berbagai kalangan mendesak pemerintah dan lembaga pengawas untuk melakukan audit menyeluruh terhadap pengadaan bandwidth ini. “Jika ditemukan adanya manipulasi harga, kolusi, atau penyalahgunaan wewenang, maka hal ini harus ditindak sebagai tindak pidana korupsi,” ujar seorang pakar hukum.

Sejumlah mahasiswa di Dumai juga turut menyuarakan aspirasi mereka. “Kami mendesak penegak hukum segera menyelidiki kasus ini. Dugaan kolusi dan mark-up harga sangat merugikan keuangan negara,” ujar Ade, salah seorang mahasiswa di Dumai.

Ade juga menambahkan bahwa transparansi dan keadilan dalam pengelolaan anggaran negara harus ditegakkan untuk menjaga kepercayaan masyarakat. “Jika ada bukti pelanggaran, kami meminta aparat hukum bertindak tegas,” katanya.

Kasus pengadaan bandwidth di RSUD Dumai menjadi ujian transparansi bagi pemerintah daerah. Masyarakat berharap audit independen segera dilakukan untuk memastikan pengelolaan anggaran sesuai dengan prinsip akuntabilitas dan kejujuran.(rpc)