Sumatra Utara (Matariaubertuah.com),- Media sosial memberikan ruang setiap orang untuk dapat bertukar informasi dengan sesama pengguna media. Namun Perilaku penggunaan media sosial pada masyarakat Indonesia yang cenderung konsumtif, menyebabkan campur aduk antara informasi yang akurat dan yang tidak. Media sosial juga memiliki efek negatif, termasuk meningkatnya perilaku hate speech di media sosial akibat terbuka luasnya kebebasan berekpresi. Meskipun kebebasan berekspresi di jejaring sosial sangat disukai, masih ada banyak orang yang tidak memahaminya dan menyalahgunakannya, mengabaikannya, dan berbicara terhadap individu atau kelompok. bermuatan provokasi, hasutan ataupun hinaan kepada individu atau kelompok yang lain dalam berbagai aspek seperti ras, warna kulit, gender, cacat ,kewarganegaraan, agama dan lain-lain
Adanya fenomena “ikut-ikutan” yang menyebabkan banyaknya warganet tergiring mengikuti arus ikut berkomentar negatif tanpa memfilter informasi tersebut Sekedar untuk mendapat banyak dukungan, terlihat keren, atau mengikuti tren, tanpa mengetahui apa yang terjadi dan inti permasalahannya.
Dalam situasi seperti ini, ada kemungkinan bahwa tindakan seperti apa yang dianggap sebagai ujaran kebencian seperti yang diatur dalam Pasal 28 Ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan kedua atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (yang selanjutnya disebut sebagai UU ITE) yang melarang setiap orang menyebarkan ujaran kebencian dan Pasal 45 Ayat (2) UU ITE menentukan bahwa: “Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang sifatnya menghasut, mengajak, atau memengaruhi orang lain sehingga menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan terhadap individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan ras, kebangsaan, etnis, warna kulit, agama, kepercayaan, jenis kelamin, disabilitas mental, atau disabilitas fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)..”
Pada Pilkada dan pemilu 2024 yang merupakan kontestasi politik malah menunjukkan tren ujaran kebencian yang begitu masif di media sosial Misalnya saja pada Pilkada 2024 merupakan perhelatan menghadirkan sejumlah pemimpin baru politik Indonesia, tetapi perhelatan itu juga menjadi panggung terbuka bagi ujaran kebencian seperti konten video , unggahan postingan , komentar dan pemanfaatan teknologi berbasis kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI). Yang dapat memicu perpecahan
Berdasarkan data Aliansi Jurnalis Independen (AJI) bersama Monash University Indonesia mencatat Jawa Barat sebagai provinsi dengan ujaran kebencian tertinggi selama masa Pilkada 2024, diikuti Aceh, Sumatera Barat, Maluku Utara, dan Nusa Tenggara Barat. Dan berdasarkan Pemantauan video TikTok terkait Pilkada 2024 yang dilakukan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Monash Data & Democracy Research Hub (MDDRH) menunjukkan, 18,15 persen sampel yang terkumpul mengandung ujaran kebencian. Selain itu Sebelumnya Menurut riset Monash University bersama Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, selama masa kampanye Pemilu 2024 lalu pada pilpres 2024 terdapat sekitar 182.118 unggahan di media sosial yang berisi ujaran kebencian
Perlu diketahui bahwa Selama 2017, Polri telah menyelesaikan kasus kejahatan ujaran kebencian atau hate speech sebanyak 2.018 kasus. Adapun tindak pidana ujaran kebencian yang paling banyak adalah kasus penghinaan, yaitu 1.657 kasus, atau naik 73,14% dibanding pada tahun 2016. Kemudian, ujaran kebencian dengan kasus perbuatan tidak menyenangkan sebanyak 1.224 kasus. Sedangkan ujaran kebencian dengan kasus pencemaran nama baik sebanyak 444 kasus ini menunjukkan bahwa trend kenaikan terus menerus di tiap tahun nya Hal ini perlu diredam dengan diperlukan upaya pencegahan dan penanggulangan terhadap kasus ujaran kebencian melalui kebijakan kriminal (criminal policy).
Adanya pendekatan penal pada Kebijakan kriminal melalui implementasi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). UU ini dibuat untuk menjaga ruang digital Indonesia yang bersih, sehat, beretika, produktif, dan berkeadilan dengan diharapkan dapat memperbaiki efektivitas penegakan hukum terhadap penyebaran berita bohong dan ujaran kebencian yang mana diaturnya ketentuan pidana yang lebih tegas, diharapkan para pelaku akan merasa lebih waspada dalam menyebarkan informasi yang dapat merugikan pihak lain atau memicu konflik sosial. Yang menjadi tantangan utama dari pendekatan penal tersebut adalah bagaimana menyeimbangkan antara penegakan hukum dan perlindungan terhadap kebebasan berbicara. pendekatan penal harus diimbangi dengan sosialisasi publik mengenai etika berkomunikasi dan literasi digital. Penegakan hukum yang lebih konsisten dan adil akan memainkan peran penting dalam menciptakan lingkungan digital yang lebih aman dan terjamin, serta meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum yang ada.
Sedangkan melalui pendekatan non penal pada kebijakan kriminal dapat dilakukan dengan cara Bekerja sama dengan perusahaan teknologi atau platform media sosial untuk mengembangkan dan menerapkan kebijakan yang mencegah penyebaran ujaran kebencian. Ini bisa mencakup pelatihan algoritma untuk mendeteksi dan menghapus konten yang merugikan, serta memberikan panduan bagi pengguna untuk melaporkan ujaran kebencian.selain itu perlu di tanamkan kesadaran masyarakat mengenai literasi digital dan etika dalam berkomunikasi. adanya program penyuluhan tentang etika penggunaan media sosial penting untuk membantu mengurangi penyebaran ujaran kebencian dengan begitu Masyarakat dapat menyaring informasi untuk menghindari penyebaran hoaks dan disinformasi, terutama di era digital Dengan meningkatkan literasi digital dan sikap kritis, masyarakat dapat berkontribusi dalam menjaga integritas informasi dan mendukung demokrasi.
Tim Redaksi