Provinsi Riau (Matariaubertuah.com),- yang kaya akan nilai adat Melayu dan religiusitas, memiliki peran strategis dalam upaya pemberdayaan perempuan dan penghapusan kekerasan terhadap mereka. Momentum 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (HAKTP), yang diperingati setiap tahun mulai 25 November hingga 10 Desember, adalah waktu yang tepat untuk merefleksikan pentingnya peran perempuan dalam harmoni sosial dan pembangunan daerah. Dalam masyarakat Melayu, perempuan diibaratkan sebagai “tiang rumah”, penjaga keutuhan keluarga sekaligus harmoni sosial. Pepatah Melayu mengingatkan, “Jika perempuan mulia, maka mulialah bangsa; jika perempuan rusak, maka runtuhlah rumah tangga.” Maka dari itu, melindungi perempuan dari kekerasan adalah langkah penting untuk menjaga ketahanan peradaban.
Kekerasan terhadap Perempuan: Tantangan bagi Riau yang Adil dan Beradab
Meski adat Melayu dan agama Islam menempatkan perempuan pada posisi yang mulia, kekerasan terhadap perempuan masih menjadi tantangan nyata di Riau. Bentuk kekerasan ini mencakup kekerasan fisik, verbal, hingga digital. Dalam Islam, Rasulullah SAW bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istrinya.” Sayangnya, kenyataan di lapangan masih menunjukkan bahwa angka kekerasan terhadap perempuan terus meningkat, termasuk di wilayah yang kaya akan adat istiadat seperti Riau.
Kekerasan terhadap perempuan tidak hanya melukai harkat dan martabat mereka sebagai individu, tetapi juga mengancam tatanan sosial. Dalam adat Melayu, perempuan disebut sebagai “anak gadis ibarat bunga, jika layu kelopaknya, buruklah pandangnya.” Kekerasan yang dialami perempuan tidak hanya menghancurkan potensi mereka, tetapi juga mencoreng wajah peradaban yang menjunjung nilai-nilai luhur.
Pilkada 2024: Potensi Perempuan sebagai Agen Perubahan
Hasil Pilkada 2024 menjadi bukti nyata bahwa perempuan memiliki peran strategis dalam proses demokrasi. Dengan jumlah pemilih perempuan mencapai lebih dari 2,4 juta orang, partisipasi perempuan di Riau menunjukkan kekuatan mereka sebagai penggerak perubahan. Berikut adalah data jumlah pemilih perempuan di setiap kabupaten/kota di Riau:
- Kota Pekanbaru: 401.561 perempuan
- Kabupaten Kampar: 296.486 perempuan
- Kabupaten Indragiri Hilir: 250.340 perempuan
- Kabupaten Bengkalis: 227.546 perempuan
- Kabupaten Rokan Hilir: 226.961 perempuan
- Kabupaten Rokan Hulu: 192.649 perempuan
- Kabupaten Siak: 164.297 perempuan
- Kabupaten Indragiri Hulu: 163.213 perempuan
- Kabupaten Pelalawan: 142.103 perempuan
- Kabupaten Kuantan Singingi: 126.843 perempuan
- Kota Dumai: 117.383 perempuan
- Kabupaten Kepulauan Meranti: 72.639 perempuan
Jumlah ini mencerminkan betapa strategisnya peran perempuan dalam membangun daerah. Namun, partisipasi ini sering kali terhambat oleh stereotip gender, kekerasan berbasis gender, dan kurangnya ruang bagi perempuan dalam pengambilan keputusan. Pepatah Melayu mengingatkan, “Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung,” yang berarti perempuan harus diberdayakan sesuai dengan konteks dan potensi daerahnya.
Pendekatan Pentahelik: Solusi Kolaboratif untuk Perlindungan dan Pemberdayaan
Untuk menjawab tantangan kekerasan terhadap perempuan, pendekatan pentahelik yang melibatkan pemerintah, akademisi, dunia usaha, masyarakat adat, dan media dapat menjadi solusi strategis.
1. Pemerintah: Memimpin Kebijakan Perlindungan
Pemerintah daerah harus memimpin inisiatif perlindungan perempuan melalui kebijakan yang berpihak, seperti menyediakan layanan konseling gratis, membangun rumah aman, dan memperkuat sistem hukum untuk memproses kasus kekerasan secara cepat dan adil. Sebagaimana pepatah Melayu mengatakan, “Negeri bertuah karena raja adil,” keadilan bagi perempuan adalah syarat untuk menciptakan masyarakat yang harmonis.
2. Akademisi: Memberi Solusi Berbasis Penelitian
Akademisi memiliki peran penting dalam menyediakan data berbasis penelitian tentang kekerasan terhadap perempuan. Penelitian ini dapat menjadi dasar bagi rekomendasi kebijakan yang relevan. Selain itu, pelatihan berbasis kearifan lokal, seperti tenun songket dan kuliner tradisional, dapat dirancang untuk memberdayakan perempuan secara ekonomi dan sosial.
3. Dunia Usaha: Menciptakan Peluang Kerja Ramah Perempuan
Dunia usaha harus mendukung pemberdayaan perempuan dengan menciptakan peluang kerja yang ramah perempuan, terutama di sektor-sektor yang mendukung pelestarian budaya Melayu. Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah SAW, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.”
4. Masyarakat Adat: Memulihkan Harmoni Sosial
Kolaborasi dengan masyarakat adat sangat penting dalam mengampanyekan nilai-nilai adat yang menghormati perempuan. Pepatah Melayu mengingatkan, “Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh,” yang menekankan pentingnya persatuan antara tokoh adat, agama, dan masyarakat dalam melindungi perempuan.
5. Media: Menyebarkan Inspirasi dan Informasi
Media memainkan peran sentral dalam menyebarkan informasi tentang hak-hak perempuan, mempromosikan kisah inspiratif, dan membangun kesadaran tentang pentingnya pelaporan kasus kekerasan.
Program Kolaboratif untuk Perempuan Riau
Kampanye Kesadaran Adat dan Hukum
Nilai-nilai adat Melayu yang menghormati perempuan harus terus dikampanyekan, terutama di kalangan generasi muda. Pada saat yang sama, pemahaman tentang hukum yang melindungi perempuan dari kekerasan juga harus ditingkatkan. Rasulullah SAW mengingatkan, “Wanita adalah saudara kandung laki-laki,” yang menegaskan pentingnya kesetaraan hak perempuan dalam hukum dan adat.
Pemberdayaan Ekonomi Perempuan
Kemandirian ekonomi adalah salah satu cara efektif untuk memberantas kekerasan terhadap perempuan. Dengan pelatihan keterampilan berbasis budaya, perempuan tidak hanya mandiri secara ekonomi tetapi juga mampu melestarikan budaya Melayu. Pepatah Melayu mengatakan, “Sedikit-sedikit, lama-lama menjadi bukit,” yang mengajarkan pentingnya kesabaran dalam mencapai keberhasilan.
Pelibatan Perempuan dalam Kebijakan Publik
Perempuan harus diberikan ruang yang lebih besar dalam proses pengambilan keputusan, baik di tingkat adat maupun pemerintahan. Sebagaimana Islam mengajarkan, “Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka,” perempuan yang menjadi pemimpin dapat membawa perspektif baru yang lebih inklusif.
Pemanfaatan Teknologi Digital
Platform digital dapat menjadi alat penting untuk melaporkan kasus kekerasan, membangun komunitas perempuan, dan meningkatkan akses terhadap pendidikan.
Kesimpulan
Momentum 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan adalah pengingat bagi seluruh elemen masyarakat untuk memperkuat komitmen dalam melindungi dan memberdayakan perempuan. Dengan pendekatan pentahelik dan kolaborasi semua pihak, Riau dapat menjadi daerah yang ramah perempuan, di mana adat istiadat dan modernisasi berjalan beriringan. Pepatah Melayu mengajarkan, “Kecil tapak tangan, nyiru ditadahkan,” yang berarti seluruh elemen masyarakat harus berkontribusi untuk menciptakan lingkungan yang lebih baik bagi perempuan.
Pilkada 2024 telah membuktikan bahwa perempuan adalah agen perubahan yang signifikan. Kini saatnya memberikan mereka perlindungan dan pemberdayaan yang sejalan dengan nilai-nilai adat dan agama, sehingga Riau dapat terus maju sebagai negeri yang bermartabat dan berkeadilan.
Tim Redaksi