Pasir Pengaraian (Matariaubertuah.com),- Senin 18 November 2024 Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) adalah momen penting dalam demokrasi Indonesia, yang bertujuan untuk memilih pemimpin daerah secara adil dan transparan. Namun, menjaga netralitas dalam setiap tahapan Pilkada sering kali menjadi tantangan utama.
Netralitas dalam Pilkada mengacu pada posisi tidak memihak oleh seluruh pihak terkait, termasuk aparat pemerintah, lembaga penyelenggara pemilu, dan aktor politik. “Netralitas menjadi dasar agar demokrasi dapat berjalan dengan jujur, adil, dan kredibel,” ujar Resti Hefriyenni, S.H., M.H., praktisi hukum dari Rokan Hulu. Ia menyoroti bahwa netralitas adalah prinsip fundamental untuk menciptakan Pilkada yang bersih. “Regulasi seperti Undang-Undang Pilkada sudah menyediakan panduan jelas, tetapi implementasinya masih lemah,” tambahnya.
Dalam praktiknya, penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat daerah, politik uang, hingga manipulasi data pemilih adalah beberapa contoh nyata lemahnya penegakan hukum. “Misalnya pada Pilkada sebelumnya di sejumlah daerah, laporan tentang politik uang jarang berujung pada sanksi yang tegas,” lanjut Resti.
Indrian Syafitri, S.AP., M.Si., pengamat politik, menambahkan bahwa keterlibatan aparat negara sering kali memperburuk keadaan. “Ketika aparatur sipil negara (ASN) berpihak pada kandidat tertentu, ini menciptakan ketimpangan serius,” ungkapnya. Hal ini tidak hanya mencoreng netralitas, tetapi juga merusak kepercayaan masyarakat terhadap demokrasi.
Resti dan Indrian sepakat bahwa sinergi antara hukum dan politik masih kurang optimal. “Penegakan hukum seringkali terkendala oleh tekanan politik, sementara para aktor politik cenderung mengabaikan aturan demi kepentingan pribadi atau kelompok,” ungkap Indrian. Ia menekankan bahwa partai politik harus memperkuat sistem internal mereka untuk memastikan kandidat bertindak sesuai aturan.
Namun, solusi yang ditawarkan sering kali bersifat umum dan belum menyentuh aspek teknis. “Perlu ada penguatan peran Bawaslu dan lembaga pengawas lainnya. Selain itu, transparansi dana kampanye harus diperketat, dan publik perlu dilibatkan lebih aktif dalam proses pengawasan,” saran Indrian.
Kurangnya perspektif masyarakat dan media juga menjadi kelemahan dalam perbaikan Pilkada. “Masyarakat sering kali hanya menjadi saksi pasif tanpa pemahaman mendalam tentang pelanggaran yang terjadi,” ujar Resti. Di sisi lain, media sering kali hanya meliput kasus besar tanpa menggali lebih dalam. Oleh karena itu, edukasi hukum dan sosialisasi tentang hak dan kewajiban pemilih harus menjadi prioritas.
Dalam beberapa negara seperti Kanada dan Jerman, pelanggaran dalam pemilu ditindak tegas dengan sanksi yang tidak hanya bersifat administratif tetapi juga pidana. “Indonesia dapat belajar dari sistem pengawasan independen di negara-negara tersebut, di mana setiap pelanggaran dilaporkan dan ditangani oleh lembaga yang benar-benar netral,” jelas Resti.
Kesuksesan Pilkada tidak hanya diukur dari hasil akhir tetapi juga dari proses yang mencerminkan keadilan, transparansi, dan netralitas. “Hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu, sementara aktor politik harus tunduk pada aturan yang ada,” tutup Indrian.
Pada akhirnya, menjaga netralitas dalam Pilkada membutuhkan kerja sama semua pihak, mulai dari regulator, penyelenggara, hingga masyarakat. Dengan begitu, demokrasi di Indonesia dapat berkembang lebih matang dan kredibel.
Tim Redaksi