Pekanbaru (Matariaubertuah.com),– Manager Advokasi & Riset Fitra Riau, Sartika Dewi, menilai bahwa opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) yang diberikan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Provinsi Riau Tahun Anggaran 2024 merupakan alarm keras yang menandai masih lemahnya tata kelola anggaran Pemprov Riau. Hal ini disampaikan Sartika kepada tim Matariaubertuah.com, menanggapi Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) yang baru saja dirilis oleh BPK Perwakilan Riau.

“Predikat WDP bukan sekadar catatan teknis. Ini mencerminkan masih buruknya pengelolaan keuangan, lemahnya pengawasan, dan rendahnya komitmen reformasi fiskal daerah,” ungkap Sartika.

Salah satu temuan BPK yang disoroti adalah membengkaknya utang Pemprov Riau hingga Rp1,76 triliun, termasuk utang kepada pihak ketiga seperti kontraktor dan penyedia jasa sebesar Rp40,81 miliar yang belum dibayarkan meski pekerjaan telah selesai. Menurut Sartika, beban utang ini harus menjadi perhatian serius bagi Gubernur Abdul Wahid, yang baru saja menyelesaikan 100 hari masa kerja pertamanya.

“Jika utang sebesar ini tidak segera disikapi dengan kebijakan fiskal yang ketat dan prioritas anggaran yang jelas, maka pelayanan publik, khususnya yang menyasar masyarakat miskin dan rentan, akan terus tergerus,” tegasnya.

Fitra Riau juga menyoroti adanya kelebihan pembayaran perjalanan dinas sebesar Rp16,98 miliar yang dinilai menunjukkan pemborosan serta lemahnya sistem kontrol internal. Padahal, menurut Sartika, efisiensi belanja aparatur telah ditegaskan dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025, dan Riau sendiri telah mengalokasikan Rp352,6 miliar untuk belanja perjalanan dinas.

“Masalah perjalanan dinas ini bukan kali pertama muncul. Setiap tahun selalu jadi temuan, tapi tidak ada perbaikan nyata. Artinya, ini sudah menjadi pola yang sistemik,” tambahnya.

Lebih dari sekadar catatan keuangan, Sartika menyoroti konsekuensi langsung dari buruknya tata kelola anggaran terhadap sektor layanan dasar, terutama pendidikan. Ia mengungkapkan bahwa meskipun anggaran pendidikan tahun 2025 sudah mencapai 32% dari total APBD atau sekitar Rp3,05 triliun, hanya 15% yang digunakan untuk belanja non-gaji. Padahal, aturan menyebutkan minimal 20% dari belanja pendidikan harus digunakan untuk kegiatan di luar gaji.

“Akibatnya, kondisi ruang belajar masih memprihatinkan, dan akses pendidikan belum merata. Sebanyak 955 anak SD putus sekolah di tahun 2024, dan sekitar 9.000 anak terancam tidak bisa melanjutkan ke jenjang lebih tinggi karena keterbatasan daya tampung sekolah negeri dan biaya mahal di swasta,” jelas Sartika.

Fitra Riau menilai bahwa janji politik Gubernur Abdul Wahid untuk membangun manusia yang sehat dan berkualitas melalui layanan pendidikan dan kesehatan harus diwujudkan dengan arah kebijakan anggaran yang berpihak pada rakyat.

“Prioritas anggaran tidak boleh lagi untuk pembiayaan birokrasi yang boros. Pemprov Riau harus segera menindaklanjuti seluruh rekomendasi BPK, memperbaiki sistem pengendalian internal, serta memastikan anggaran publik digunakan untuk memenuhi kebutuhan riil masyarakat, khususnya di sektor pendidikan,” pungkas Sartika.