Kampar (Matariaubertuah.com), – Aktivitas perambahan hutan secara ilegal kembali mencoreng wajah pelestarian lingkungan di Riau. Puluhan hektar kawasan hutan lindung Batang Ulak dan hutan produksi terbatas Batang Lipai Siabu yang berada di Desa Balung, Kecamatan XIII Koto Kampar, ditemukan gundul akibat pembabatan liar oleh mafia sawit.

Pengungkapan kasus ini berawal dari laporan masyarakat yang ditindaklanjuti oleh Satgas Penanggulangan Perambahan Hutan (PPH) pada 22 Mei lalu. Dari penyelidikan di lapangan, petugas menemukan seseorang bernama Suhendra yang berperan sebagai penjaga kebun sawit ilegal. Ia mengaku menjaga kebun milik seseorang berinisial MM seluas 50 hektar, dengan 21 hektar di antaranya sudah dibuka.

Kapolda Riau, Irjen Pol Herry Heryawan, menegaskan bahwa penanganan kasus ini merupakan bentuk komitmen serius kepolisian dalam menjaga kelestarian lingkungan.

“Ini menunjukkan bahwa Polda Riau tidak hanya fokus pada kasus-kasus besar, tetapi juga konsisten mengungkap perusakan lingkungan secara sistematis dan transparan,” ungkapnya, Senin (9/6/2025).

Direktur Kriminal Khusus Polda Riau, Kombes Ade Kuncoro Ridwan, menjelaskan bahwa MM ditangkap pada 24 Mei, dan dari hasil pemeriksaan diketahui lahan tersebut diperoleh dari seseorang berinisial B. Keduanya bekerjasama menanam sawit dengan sistem bagi hasil.

Tak hanya itu, aparat juga mengamankan DM, seorang ninik mamak yang diketahui memberikan izin perambahan dengan dalih kepemilikan tanah ulayat seluas 6.000 hektar di kawasan tersebut. DM disebut mengetahui dan menyetujui hibah lahan dari B kepada MM.

Kasus ini kemudian dikembangkan hingga aparat menangkap MGT, pemilik lahan 10 hektar lainnya yang dibeli dari seseorang berinisial R. Nama DM kembali disebut karena ia juga terlibat dalam pengesahan transaksi tersebut.

“Kami pastikan ini bukan jaringan besar, tetapi perorangan yang bekerjasama dalam perambahan hutan secara ilegal,” ujar Kombes Ade.

Polda Riau menjerat para tersangka dengan sejumlah pasal berat, yakni Pasal 78 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, juncto UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja, serta Pasal 92 UU Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pemberantasan Perusakan Hutan.

“Kami tidak akan berhenti di dua perkara ini saja. Proses verifikasi dan penyelidikan terhadap pelaku lain akan terus dilakukan demi melindungi kawasan hutan yang tersisa,” tutup Kombes Ade.(grc)