Medan (Mtariaubertuah.com),- Pembaharuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) melalui UU No. 1 Tahun 2023 merupakan langkah penting dalam reformasi hukum pidana di Indonesia. Namun, perubahan ini juga menimbulkan banyak perdebatan di kalangan masyarakat. Khususnya mengenai hak hak asasi
Salah satu hak asasi manusia yang dijamin oleh negara adalah menyampaikan pendapat. Pasal kebebasan berpendapat diatur dalam UUD 1945 Pasal 28E. Adapun bunyi Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 yakni :
“Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”.
Demonstrasi juga diatur dalam undang-undang, seperti UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Demonstrasi merupakan hak legal warga negara dan juga termasuk hak asasi manusia. Salah satu contoh demonstrasi adalah demonstrasi buruh yang digelar hampir setiap tahun pada Hari Buruh Internasional.
Demonstrasi merupakan hak konstitusional warga negara yang dijamin dalam Konstitusi Pasal 28 E UUD 1945, Pasal 19 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, serta Pasal 25 UU Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi.
Dalam konteks demokrasi, demonstrasi merupakan sarana penting bagi warga negara untuk menyampaikan aspirasi dan kritik terhadap kebijakan pemerintah. Pasal 256 dalam KUHP UU No. 1 Tahun 2023 yang mengharuskan demonstrasi mendapatkan izin dari pihak berwenang menimbulkan berbagai tanggapan di masyarakat. Di satu sisi, pengaturan ini dapat dilihat sebagai langkah untuk menjaga ketertiban dan mencegah potensi kerusuhan yang bisa terjadi selama aksi unjuk rasa. Namun, di sisi lain, kewajiban untuk mendapatkan izin bisa dipandang sebagai bentuk pembatasan terhadap hak masyarakat untuk menyampaikan pendapatnya secara bebas.
Sebagaimana Pasal 256 KUHP baru, yang mengatur tentang melakukan pawai, unjuk rasa, dan demonstrasi bisa terancam penjara 6 tahun atau denda Rp10 juta jika tidak memiliki izin. Ancaman pidana itu berbunyi:
“Setiap Orang yang tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada yang berwenang mengadakan pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi di jalan umum atau tempat umum yang mengakibatkan terganggunya kepentingan umum, menimbulkan keonaran, atau huru-hara dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori II (Rp10.000.000).”
Penjelasan Pasal 256:
Yang dimaksud dengan terganggunya kepentingan umum” adalah tidak berfungsinya atau tidak dapat diaksesnya pelayanan publik akibat kerusakan yang timbul dari adanya pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi
implementasi pasal ini juga perlu dicermati. sangat penting agar hak-hak warga negara tetap terjamin. Secara keseluruhan, pasal tentang demonstrasi dalam KUHP 2023 mencerminkan dilema antara keamanan dan kebebasan. kata “pemberitahuan” seharusnya perlu diperjelas dan bukan merupakan izin. Dengan begitu, hanya memerlukan pemberitahuan saja ke aparat yang berwenang,
sebelumnya Dalam Pasal 15 UU No. 9 Tahun 1998, sanksi yang diterima oleh massa aksi ketika tidak memenuhi beberapa kriteria yakni dibubarkan.lalu kemudian dalam pasal 256 KUHP mengatur terkait pidana penjara dan denda apabila terganggu nya kepentingan umum
penting untuk memastikan bahwa setiap warga negara memiliki kebebasan untuk menyuarakan pendapatnya tanpa rasa takut akan penindasan. Oleh karena itu, transparansi dalam mekanisme perizinan dan perlindungan terhadap hak-hak sipil harus menjadi prioritas utama.
Secara keseluruhan, Pasal 256 dalam KUHP UU No. 1 Tahun 2023 harus ditinjau kembali agar tidak menghalangi hak konstitusional warga untuk berdemonstrasi. Keseimbangan antara keamanan dan kebebasan berpendapat adalah kunci untuk menciptakan masyarakat yang demokratis dan inklusif, di mana setiap suara dapat didengar tanpa rasa takut. Dialog terbuka antara pemerintah, masyarakat, dan berbagai pemangku kepentingan harus terus dilakukan untuk menciptakan sistem hukum yang lebih baik dan lebih responsif terhadap kebutuhan masyarakat.
Tim Redaksi