Jakarta (Matariaubertuah.com),– Operasi PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP), anak perusahaan Raja Garuda Emas (RGE) Group milik konglomerat Sukanto Tanoto, kembali menjadi sorotan tajam. Aktivis lingkungan dan masyarakat Riau menuduh perusahaan ini bertanggung jawab atas kerusakan hutan masif, perizinan ilegal, serta berbagai konflik sosial selama lebih dari 30 tahun terakhir.

Menurut investigasi Jikalahari (Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau), RAPP diduga terlibat dalam praktik deforestasi yang meluas. Dari tahun 2014 hingga 2023, lebih dari 64.000 hektare hutan alam di area konsesi perusahaan ini dilaporkan hilang. “Ini setara dengan luas Kota Pekanbaru,” ungkap Koordinator Jikalahari, Okto Yugo Setyo. Kerusakan ini mencakup penghancuran lahan gambut yang berdampak besar pada ekosistem dan keanekaragaman hayati.

Perizinan Diduga Sarat Korupsi

Kasus dugaan pelanggaran hukum yang melibatkan perusahaan ini bukan hal baru. Pada 2007, delapan pemasok kayu untuk RAPP sempat dinyatakan tersangka dalam kasus pembalakan liar oleh Polda Riau. Namun, penyelidikan tersebut dihentikan dengan penerbitan Surat Penghentian Penyidikan (SP3), yang memicu kontroversi di kalangan masyarakat dan aktivis lingkungan.

Catatan Jikalahari menunjukkan, dari tahun 2002 hingga 2009, setidaknya 16 perusahaan perkebunan yang terafiliasi dengan APRIL Group (divisi RGE) mendapatkan izin operasi di kawasan hutan lindung. Proses perizinan ini diduga melibatkan praktik penyuapan pejabat daerah, termasuk beberapa kepala daerah dan mantan Gubernur Riau, Rusli Zainal, yang telah divonis bersalah atas penyalahgunaan wewenang.

“Kerugian ekonomi negara dari kerusakan hutan Riau mencapai Rp1,3 triliun, sementara nilai kayu yang diambil secara ilegal diperkirakan senilai Rp2,5 triliun,” kata Okto. Meski demikian, RAPP terus beroperasi dengan mengklaim diri sebagai perusahaan yang mendukung keberlanjutan lingkungan.

Dugaan Keterlibatan dalam Kebakaran Hutan

Selain deforestasi, perusahaan ini juga dikaitkan dengan insiden kebakaran hutan dan kabut asap yang melanda Riau. Laporan Jikalahari menyebutkan bahwa tujuh perusahaan yang terhubung dengan APRIL Group menjadi tersangka dalam kasus kebakaran pada 2015 dan 2019. Meski bukti kuat ditemukan, kasus tersebut dihentikan tanpa tindak lanjut hukum.

“Data satelit menunjukkan ada lebih dari 500 titik panas di area konsesi RAPP antara 2018 dan 2023. Sebagian besar berada di lahan gambut,” kata Okto. Kebakaran di lahan gambut ini melepaskan emisi gas rumah kaca yang memperburuk perubahan iklim.

Konflik dengan Masyarakat Lokal

Operasi RAPP juga menimbulkan konflik sosial yang meluas. Dalam laporan Jikalahari, sebanyak 72 desa terlibat sengketa dengan perusahaan ini, terutama terkait dengan perampasan lahan dan penggusuran paksa. Konflik ini tidak hanya merugikan masyarakat adat tetapi juga memicu konflik antara manusia dan satwa liar, termasuk harimau Sumatera yang habitatnya terus menyusut.

“Sebagian besar konflik ini terjadi karena masyarakat kehilangan hak atas tanah adat mereka,” tambah Okto.

Seruan untuk Tindakan Tegas

Berbagai kelompok masyarakat dan aktivis menyerukan agar pemerintah bertindak tegas terhadap RAPP dan RGE Group. Gerakan Pemuda Peduli Pelalawan (GP3) meminta Presiden Prabowo Subianto, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), serta aparat penegak hukum untuk menyelidiki Sukanto Tanoto dan eksekutif perusahaan atas dugaan pelanggaran hukum.

“Kami mendesak pemerintah untuk menindak perusahaan-perusahaan yang merusak lingkungan dan mengeksploitasi masyarakat lokal,” ujar Ketua GP3, Juhendri.

Dengan perhatian dunia yang semakin meningkat terhadap isu perubahan iklim, kasus RAPP menjadi peringatan keras tentang pentingnya akuntabilitas dan keberlanjutan dalam sektor kehutanan Indonesia. (rpc & hr)