Jakarta (Matariaubertuah.com),- 30 Desember 2024 – Vonis 6 tahun 6 bulan penjara yang dijatuhkan kepada Harvey Moeis, terdakwa kasus korupsi PT Timah, menuai kritik luas. Suami dari artis Sandra Dewi ini terbukti merugikan negara sebesar Rp271 triliun, namun hukuman yang diterimanya dianggap terlalu ringan dibandingkan dengan besarnya kerugian negara.

Putusan ini dibacakan pada sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada 23 Desember 2024 oleh majelis hakim yang diketuai Eko Ariyanto dengan anggota Suparman Nyompa, Eryusman, Jaini Basir, dan Mulyono. Selain hukuman penjara, Harvey diwajibkan membayar ganti rugi sebesar Rp210 miliar. Apabila tidak dibayar, harta bendanya akan disita, atau diganti dengan tambahan pidana 2 tahun penjara.

Vonis tersebut lebih ringan dari tuntutan jaksa, yang meminta agar Harvey dijatuhi hukuman 12 tahun penjara, denda Rp1 miliar, dan ganti rugi Rp210 miliar. Ringannya hukuman ini memicu reaksi keras dari masyarakat yang menilai ketidakadilan dalam penegakan hukum terhadap koruptor kelas kakap.

Perhitungan Fantastis Uang Korupsi
Kemarahan publik semakin memuncak setelah sebuah unggahan viral di media sosial. Pemilik akun X @Bang_Ramzan mengungkapkan betapa besar nilai uang hasil korupsi Harvey Moeis. Ia menyebutkan bahwa jika uang Rp271 triliun itu dibelanjakan Rp1 miliar setiap hari, maka jumlah tersebut baru habis dalam waktu 742 tahun.

“Uang hasil korupsi Harvey Moeis sebanyak Rp271 triliun akan habis selama 742 tahun jika digunakan Rp1 miliar setiap hari. Kalian mau belanja apa 1 miliar setiap hari?” tulisnya dalam unggahan tersebut.

Unggahan ini menggambarkan betapa luar biasanya dampak kerugian negara akibat tindakan Harvey. Banyak warganet yang mempertanyakan mengapa hukuman terhadap koruptor sebesar itu bisa lebih ringan dibandingkan dengan kasus korupsi berskala lebih kecil.

Reaksi Masyarakat dan Pengamat
Berbagai pihak, mulai dari aktivis antikorupsi hingga pengamat hukum, turut menyuarakan kekecewaan atas putusan tersebut. Direktur Eksekutif Transparansi Hukum Indonesia, Yuliana Rachman, menyatakan bahwa vonis Harvey menunjukkan lemahnya komitmen pemberantasan korupsi di Indonesia.

“Kerugian negara sebesar Rp271 triliun adalah salah satu yang terbesar dalam sejarah Indonesia. Namun, vonis 6,5 tahun penjara tidak mencerminkan keseriusan negara dalam menindak koruptor,” ujar Yuliana.

Ia juga menyoroti bahwa hukuman pengganti sebesar Rp210 miliar hanya mencakup sebagian kecil dari total kerugian negara. “Uang pengganti yang dijatuhkan sangat tidak proporsional dibandingkan dengan total kerugian. Ini mencerminkan ketimpangan dalam proses penegakan hukum,” tambahnya.

Panggilan untuk Reformasi Hukum
Kasus Harvey Moeis menjadi pengingat akan perlunya reformasi dalam sistem hukum, terutama dalam penanganan kasus korupsi besar. Aktivis antikorupsi menyerukan agar pemerintah dan lembaga penegak hukum memperkuat regulasi, termasuk menaikkan hukuman minimum bagi koruptor kelas kakap.

Sementara itu, warganet terus menggaungkan kritik terhadap keputusan pengadilan dan berharap ada langkah tegas untuk mengevaluasi kasus ini. “Kita butuh keadilan, bukan hanya untuk menghukum, tetapi juga untuk memulihkan kerugian negara yang luar biasa besar,” tulis seorang pengguna media sosial.

Dengan perhatian publik yang terus meningkat, kasus Harvey Moeis berpotensi menjadi momen penting untuk mendesak reformasi hukum yang lebih tegas dan transparan dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.