Pekanbaru (Matariaubertuah.com),- Filsuf Skotlandia abad ke-19, Thomas Carlyle, pernah berkata, “Pelajarilah sejarah agar kita tak tergelincir di masa depan.” Pesan ini sangat relevan. Kita sebaiknya tidak terperangkap dalam pesona romantisme masa lalu, secerah apa pun, karena hidup kita adalah untuk masa kini dan masa depan, meski realitanya tak selalu manis. Dengan memahami sejarah, kita dapat menghindari kesalahan yang sama.
Sejarah sebuah bangsa tersimpan dalam jejak-jejak masa lalu yang dapat kita pelajari, meskipun tak bisa diubah. Di era digital ini, lembaran-lembaran masa silam tersebut menjadi “jejak digital” yang tersimpan di awan, menjadi pelajaran berharga untuk menavigasi masa depan.
Dalam konteks ini, kearifan lokal mengingatkan kita:
Yang beriak bawalah berenang
Yang berlubuk bawalah berkayuh
Yang baik bawalah pulang
Yang buruk buang jauh-jauh.
Renungan semacam ini memberi makna bagi peringatan Hari Pahlawan setiap 10 November. Peristiwa heroik Pertempuran Surabaya pada 10 November 1945 adalah saksi sejarah betapa besarnya semangat pengorbanan rakyat Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan. Pertempuran ini melibatkan milisi rakyat dan pejuang Surabaya dalam melawan penjajah Belanda dan sekutunya yang masih bercita-cita menjajah kembali. Pertempuran ini memakan banyak korban dari milisi dan sekitar 1.500 tentara sekutu, termasuk tewasnya Brigadir Jenderal Mallaby. Dari sejarah ini, muncul pahlawan muda yang inspiratif, seperti Bung Tomo yang, lewat corong radio, membakar semangat juang rakyat Surabaya.
Kendati tentara sekutu akhirnya menguasai sebagian besar kota Surabaya dengan teknologi perang yang jauh lebih canggih, semangat juang rakyat Surabaya telah membuka mata dunia bahwa Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 bukan sekadar deklarasi kosong. Rakyat Indonesia siap mengorbankan segalanya demi kemerdekaan. Semboyan “Merdeka atau Mati!” menggema di seluruh nusantara, menjadi landasan bagi perjuangan dan pengorbanan tanpa pamrih.
Semangat kepahlawanan dari Pertempuran Surabaya, yang penuh dengan jiwa pengorbanan, cinta tanah air, nasionalisme, dan patriotisme, tetap relevan hingga kini. Kita mendambakan kelahiran pahlawan-pahlawan baru yang mengemban semangat yang sama untuk menjaga keutuhan dan kehormatan bangsa.
Namun, kita juga menyadari bahwa waktu terus berjalan. Generasi baby boomers, yang lahir pasca-perang kemerdekaan, kini memasuki usia senja, sementara generasi X mulai memasuki usia pensiun. Generasi milenial atau generasi Y, yang berada di tengah peralihan teknologi, kini menyaksikan kemajuan pesat yang dinikmati generasi Z dan Generasi Alpha, yang tumbuh di era digital. Generasi ini menghadapi tantangan zaman yang berbeda, di mana pahlawan tidak lagi hanya muncul di medan perang, tetapi di berbagai arena kehidupan, termasuk demokrasi dan politik.
Maknanya, masihkah semangat pahlawan 10 November 1945 itu membara? Musuh kita kini bukan lagi tentara asing, melainkan tantangan zaman yang berbeda. Ultimatum di era modern tak lagi datang dari Mayor Jenderal Robert Mansergh yang menuntut pejuang Surabaya menyerah, tetapi dari arus perubahan global yang cepat dan dahsyat di era digital. Kita tak mungkin melawan arus perubahan ini dengan cara-cara lama. Yang bisa kita lakukan adalah mengendalikan kemudi dengan adaptif, dengan mengingat sejarah sebagai panduan etika dan moral.
Memasuki pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak tahun ini, kita tidak hanya memilih gubernur, bupati, atau walikota. Kita memilih pemimpin yang memiliki jiwa kepahlawanan, yang rela berkorban tanpa pamrih demi kepentingan rakyat. Pemimpin seperti ini adalah pahlawan masa kini, yang harus mampu mengarungi tantangan global sambil tetap berpegang pada nilai-nilai luhur bangsa.
Selamat memperingati Hari Pahlawan. Semoga kita dapat memilih pemimpin-pemimpin berjiwa pahlawan yang membawa bangsa ini menuju masa depan yang lebih baik. Merdeka!
Tim Redaksi